Sabtu, 30 Juli 2011

Dan aku : Bulan



Aku sendirian di tengah malam kelam
Bintang-bintang meninggalkan aku
Matahari memeluk siang hari tanpaku

Aku terdiam sunyi dihembusan angin jalanan
 Yang menggerakkan kuncup-kuncup bunga kamboja
Yang seakan tegar berumpun di atas pusara

Aku bersenandung dengan seruling meteor
Mencoreng gelap dengan ekornya sang langit
Nadanya menggaung di setiap sudut Suralaya

Dan ketika aku berada saat lingsir malam
Tahajudku mewarnai nafas alam
Bersandar pada awan-awan hitam

Esok dan lusa aku menua
Purnamaku akan berganti sudah
Dan tenggelam berkecipak dedaunan

Subuh mendekap sesaat
Aku tertidur lelap di tepian hutan.
Batu. Dimanche, 28 mars 2010
Banyu langit
Riant_lechevalierrouge@yahoo.fr

Kamis, 07 Juli 2011

Ketika Cinta Menepuk Hati Dan Ragu Memeluk Nyawa

aku hanya memandangi sesosok raga yang bersenandung nada
       bergulir di dalam waktu yang hanya sebentar terpaut kata
tergulung bersama nafas yang terpaut kala.
   Aku memuja setiap aura yang membuatku dingin semerbak cinta yang menepuk dada
       Seiring alunan senyum yang tiada hilang
Cium yang tiada lenyap
Dan gurau yang tiada rapuh.
       Tapi saat aku melihat yang tiada ingin aku mengerti,
       Ia tak sendiri, ia tak sepi sepertiku
       Ia tergelak tak menangis bagai aku
       Ia sempurna daripada aku,,,
              Muncul Tanya dari dalam samudra yang luas
              Ke dalam setiap air mata yang sempit mengalir padanya
              Terhembus embun-embun dari keringat yang mengharap
              Bayangan belaka dari neraka.
15 Aout 2010

Senin, 04 Juli 2011

Perasaan yang terpatahkan

Seringai bibir-bibir yang menggoda aku untuk menggigitnya
Tersenyum penuh indah yang tertabur mesra dengan perasaanku sendiri
Mencabut setiap dingin yang menakuti tulang-tulang beku
Menjadi hempasan pandangan menakjubkan
Tapi kini terpatahkan sudah
Karena bibir-bibir itu sudah dipunya orang
Dan sang harimau tak pernah bisa mendaki angkasa
Kecuali dia sakti
Atau mati,,,


17 aout 2010

Jumat, 01 Juli 2011

Apa aku harus terdiam?


            
              Aku mengedip-kedipkan mataku saat terbangun tadi malam, jam dinding menunjuk pada angka 3 oleh kedua jarum yang ia miliki. Ku lihat meja di sudut kamar, ada seujung lilin yang masih tetap menyala jingga di atas meja yang teralasi kain putih bersih, sebatang dupa yang asap dan baunya masih belum surut memenuhi kamarku. Kelopak-kelopak mawar putih, melati dan kenanga juga masih berserakan. Aku ingat, akulah yang menyalakan dupa itu, lilin dan menaburkan bunga di atas satu buah keris. Aku lirik lagi jam dinding yang menggantung,  sepertinya dia belum bergerak dari posisi semula. Tetap pada angka 3. 3 dini hari.
            Rasa kantuk tiba-tiba menghilang begitu saja dari otakku. Mataku tak lagi berat untuk terpejam di atas bantal, aku bangkit terduduk mengambil sekelopak melati dan mengendusnya ” wangi sekali.”, bathinku menerka.
            “ kau Cuma nafsu saja dengannya, pilih dia atau pilih aku sebagai sahabatku “
            Itu kata-kata novan saat aku ingin berkenalan dengan seorang yang menurutku sangat sempurna. Kata itu sudah lama sekali ia ucapkan tapi entah kenapa rasanya tak bisa hilang dari benakku. Apa itu dendam? Tidak, aku tidak akan mendendam pada sahabatku sendiri. Mungkin aku yang salah, aku yang sepenuhnya keliru. Bukan salah sahabatku yang telah menyayat perasaanku.
            “ ah, sudahlah “, kataku dengan beranjak untuk mengambil air wudlu.
            Tidak pernah aku hiraukan rasa beku yang ada padanya, tetap dengan sepenuh hati aku siramkan pada wajahku. Shalat malam yang jarang sekali aku lakukan dan pada malam ini aku lakukan membelakangi mejaku yang lebih seperti altar sesajen.
            “ kamu akan lebih di kenal jika kamu ada kemauan untuk melebarkan sayap “
            Kata-kata novan kembali terngiang saat shalatku hampir saja bersalam, untung aku dapat mengatur hatiku yang mungkin akan kalau dan membatalkan shalat. Ku angkat seuntai tasbih merah yang tergeletak mesra dengan secarik kertas bertuliskan sebuah kalimat doa yang beberapa waktu lalu diajarkan oleh ibu.
            “ ampun Gusti,,, “ desahku mewakili kalbu yang kian gundah dimakan perasaan yang membakar dengan membabi buta.
            “ apa aku harus diam saja wahai Gusti? Apa aku harus termenung saja? “
            “ tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Mu wahai Gusti Allah “ wiridku semakin ku perkuat untuk mencegah air mata yang sangat ingin menetes.
            Aku kembali membelakangi arah kiblat, dupa hitam itu belum juga habis dan masih membentuk kepulan-kepulan asap tipis yang melayang ke langit-langit kamar. Lilin merah di sampingnya mungkin beberapa waktu lagi akan habis diterkam apinya sendiri, kelopak-kelopak bunga juga masih sesegar ketika ku menaburkannya tadi. Lantas aku hunus sebilah keris yang menjadi sangat dingin, mengasapinya dengan asap dupa, mengolesinya dengan minyak melati dan mawar.
            “ sun matak aji … “, ku mulai membaca kalimat-kalimat mantra yang aku yakini sebagai perantara turunnya rahmat Gusti Allah kepadaku. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali aku rapal sampai aku yakin benar.
            Desiran angin tercipta di dalam kamarku saja, bertiup mematikan api lilin yang kian mengecil, mengacaukan asap dupa yang membumbung. Dan aku sadar, sepenuhnya sadar bahwa yang aku tunggu telah datang meski hanya lewat bathin saja aku melihat dan berbicara dengannya. Shang hyang Ismaya aku menyebut penampakan itu.
            Dalam pejaman mataku dan semadi yang tercipta di atas sajadah merah lusuh, aku dengannya berbicara, seketika diriku roboh, terkulai di atas alas sholat. Aku tak tahu lagi. Yang aku tahu Cuma ucapan sahabatku yang terus menggema di seluruh ruang hatiku. Aku masih amat sakit, sangat sakit.
           
“ apa aku harus diam Gusti? Apa aku harus bungkam? “ aku bertanya lagi pada Tuhan.
            “ akan aku lakukan apa yang menurutku harus aku lakukan wahai Tuhan, rahmati aku wahai Tuhan “
            “ dari pada aku terbungkam mati dalam tangis yang tak ada kebenaran di dalamnya “
            Aku masih terkulai dan mungkin juga tertidur sementara kalbuku bercakap sendirian pada Tuhan.
            Aku tak ingin hanya diam saja.
            Aku juga tak mau abadi dalam petang.
            Aku tidak mau terbungkam lagi.
            Aku kembangkan sayapku selebar mungkin aku mampu.
            “ keparat, sahabat macam apa kau? Sama sekali tidak mendukung apa yang selama ini menjadi hidupku. Apa kau ingin aku mati? ha?,,,”
            “ tapi selama ini dialah yang kerap menasehatimu. Bukannya dia tidak mendukung tapi dia tidak mau saja kau celaka, lagi pula dia terlalu tahu dan sangat tahu watak orang yang sedang kau inginkan itu. Jangan berburuk sangka pesanku,,,”
            “ halah,,, munafik ! jangan pernah kau tutup-tutupi tangismu yang selama tiga hari dulu kau kecap sendiri. Pahit di hatimu kau nikmati sendiri. Perih-perih sayatan pengkhianatan kau jilati sendiri darahnya. Masih juga kau membela sahabat pengkhianat semacam dia. Cuih …!”
            “ sabarkan hatimu, jangan termakan rayuan iblis. Sahabatmu adalah orang yang sangat baik dan akan senantiasa baik kepadamu, ayolah santai saja … . dan apa kau ingat selama delapan tahun lebih kau bersahabat dengan dia, apa kau sudah menemukan hati sebaik dan sesempurna sahabatmu itu? Aku tahu, tentu belum bukan? Selama itu juga, apa pernah sahabatmu itu tidak memperdulikanmu? tidak pernah kan? “
           
Aku percaya bahwa sahabatku bukanlah orang sadis yang tega memakan sahabat karibnya sendiri, yaitu aku. Berarti aku idak pernah boleh menganggap musuh orang yang aku sayangi karena dia bukan ingin membunuhku tapi ingin menyambung nafasku yang kerap terbata-bata.
            “ kasihani aku wahai sahabatku, tak tahukah kau aku memohon kepadamu? Tak tahukah kau sudah berapa lama aku menggantung nyawaku di ucapanmu?. Kasihani aku sahabatku, kasihani aku. Relakah kau memakanku hidup-hidup? “ bisik hatiku dalam sunyi sepi.
            Pilu sekali rasanya. Kemudian terhunus sebilah keris tajam yang dikata kakekku mengandung bisa ular welang. Ah, alangkah bahagianya tidur di bawah tanah basah dengan belaian tangan Allah meski Cuma berselimut bebeapa meter kain mori, alangkah harumnya jasadku ditaburi kelopak bunga setaman dan belum lagi diciprati minyak wangi.
            “ berfikir apa kau? Apa kau pikir mati itu memutuskan masalahmu? Tidak, benar-benar tidak. Malah Allah akan menghardikmu dengan cambuk-cambuk.”
“ ha.. ha.. ha.. lakukan saja, buat apa kau bingung dengan hidup yang mengancammu seperti ini? “
Aku sarangkan sebilah keris itu di nadi tangan kiriku.
“ jangan. Sekali lagi aku tegaskan kepadamu, kematian tidak mengakhiri masalahmu tapi akan menciptakan masalah baru untukmu sendiri. Camkan ! “
Aku menarik keluar dari area kematian saat benda tajam berliuk itu hendak menancap dengan sendirinya.
“ Allah, ampuni aku…” aku menggumam dengan sangat pelan.
Ku letakkan seperti semula keris yang berjejuluk Kiai Nogo Sosro di atas meja yang sekali lagi aku sebut sebagai altar.
Setiupan angin lagi pasti dupa harum itu akan habis masanya dan mati, lilin disampingnya meredup dan apinya semakin mengecil.
Padamlah mereka. Tapi aku belum mau padam dulu meski aku sekarang Cuma diam.
 Bukan diam tanpa alasan, atau diam menganggur dan lekas mengantuk.
Aku diam karena menunggu.

Saat yang pasti untukku bangkit dari peraduan menyesatkan.















Jeudi, 11 mars 2010
Riant banyu indrabuana
riant_lechevalierrouge@yahoo.fr