Senin, 21 November 2011

When I Look At You (OST The Last Song)


Everybody needs inspiration
Everybody needs a song
A beautiful melody when the night's so long
'Cause there is no guarantee that this life is easy

Yeah, when my world is falling apart
When there's no light to break up the dark
That's when I, I, I look at you

When the waves are flooding the shore
And I can't find my way home anymore
That's when I, I, I look at you

When I look at you, I see forgiveness, I see the truth
You love me for who I am like the stars hold the moon
Right there where they belong
And I know I'm not alone

Yeah, when my world is falling apart
When there's no light to break up the dark
That's when I, I, I look at you
When the waves are flooding the shore
And I can't find my way home anymore
That's when I, I, I look at you

You appear just like a dream to me
Just like kaleidoscope colors that prove to me
All I need, every breath that I breathe
Don't ya know, you're beautiful

Yeah, yeah

When the waves are flooding the shore
And I can't find my way home anymore
That's when I, I, I look at you
I look at you

Yeah, yeah, oh, oh
You appear just like a dream to me

Minggu, 20 November 2011

Temaram.


Tak pernah sampai aku gapai mentari yang tersenyum di balik badai.
Kemudian bulan menghardikku karena mungkin dikira aku telah berusaha selingkuh dari kenyataan yang tercipta.
Bintang datang dan pergi semau dia kemudian ia menghujatku karena dikira juga aku telah mengabaikannya sejak bulan purnama kemarin berakhir.
Kabut dingin di malam kelam juga demikian, muncul, menghilang, muncul dan menghilang lagi. Setiap kali berusaha mengucapkan berbagai sandiwara dari dalam belahan-belahan auranya yang tipis, kelabu, dingin dan mencekamku untuk merangkulnya.
Angin tak berhembus, tak bergerak, tak berjalan.
Sebagaimana aku menjemur setengah dari dahiku intuk menutupi mata dan pikiranku dari semua yang telah aku raut dan aku coretkan sebagai lukisan yang tidak pernah terwujud apapun.
Aneh bukan.
Tapi inilah kenyataan yang terjadi sesungguhnya. Aku yang memulai. Tapi aku tak mau mengakhiri. Aku yang memulai dan aku juga tak mau ada sela sedikitpun.
Malam semakin temaram setelah bulan menghardikku.
Lancang!
Tak elak juga semua mencaciku.
Baik!
Apa ada yang benar dari kalian semua?
Tidak!
Aku yang paling benar dari semua temaram yang ada.
Aku yang paling temaram dari semua terang yang ada.
Dan aku yang paling terang, jika aku mati.
Semua tertawa, sampai tikus-tikus menjijikan terbahak-bahak di dalam lubangnya yang sudah tidak perawan.
Kau siapa wahai manusia? Tanya tikus itu padaku yang masih ternganga.
Aku adalah temaram.
Temaram? Milik siapa?
Milik matahari, milik bulan, milik bintang, milik kabut, milik angin, milik air, milik malam.
Kau seperti  kami wahai temaram.
Aku? Mirip tikus seperti kau? Lancang!
Itu benar. Kau memakan segala hal yang menurutmu menarik.
Benarkah?
Benar temaram.
Aku sedih.
Bersedihlah.

Rian kertabhumi.
28 juni 20112

Kamis, 22 September 2011

Di Ujung Matahari


            Matahari setengah badannya mendingin tercebur di dalam lautan. Nyiur-nyiur melambai memanggil bulan untuk menerangi malam nanti. Aku berjalan pelan menyusuri pantai dibelai ombak-ombak tipis dan riak-riak buih putih. Aku mainkan pasir-pasir kelabu, aku ukir dengan sebuah nama dan namaku dan ku hanyutkan bersama sapuan air.
            Nyiur-nyiur menenang tetapi udara hangat masih bertiup, nafasku hidup bersamanya. Kemudian aku duduk sendiri menatap ujung matahari yang tinggal seujung jari tingginya.
            Gemericik air samudra bergemericik berbisik-bisik berdzikir pada Tuhan semesta alam. Menerjang tebing-tebing karang terjal yang membentengi daratan.
            Bunga kenanga ku alirkan ke tengah lautan bersama lilin-lilin sunyi, ku harap di temukan Kamajaya lewat Hyang Surya yang mengantuk dikurung kegelapan. Camar-camar putih berpulang melayang-layang di angkasa, digantikan kelelawar dan gagak-gagak yang berdecit-decit.
            Aku kembali menorehkan sebuah nama dan namaku di atas pasir kelabu diiring cakrawala yang makin mengungu dan menghitam. Berharap dapat bersatu seperti apa yang aku bayangkan.
            Saling mendekap hangat.
            Seperti aku mendekap sepi di ujung matahari.

Ketika Cinta Menepuk Hati Dan Ragu Memeluk Nyawa





         aku hanya memandangi sesosok raga yang bersenandung nada
       bergulir di dalam waktu yang hanya sebentar terpaut kata
tergulung bersama nafas yang terpaut kala.
       Aku memuja setiap aura yang membuatku dingin semerbak cinta yang menepuk dada
       Seiring alunan senyum yang tiada hilang
Cium yang tiada lenyap
Dan gurau yang tiada rapuh.
       Tapi saat aku melihat yang tiada ingin aku mengerti,
       Ia tak sendiri, ia tak sepi sepertiku
       Ia tergelak tak menangis bagai aku
       Ia sempurna daripada aku,,,
              Muncul Tanya dari dalam samudra yang luas
              Ke dalam setiap air mata yang sempit mengalir padanya
              Terhembus embun-embun dari keringat yang mengharap
              Bayangan belaka dari neraka.



Sabtu, 30 Juli 2011

Dan aku : Bulan



Aku sendirian di tengah malam kelam
Bintang-bintang meninggalkan aku
Matahari memeluk siang hari tanpaku

Aku terdiam sunyi dihembusan angin jalanan
 Yang menggerakkan kuncup-kuncup bunga kamboja
Yang seakan tegar berumpun di atas pusara

Aku bersenandung dengan seruling meteor
Mencoreng gelap dengan ekornya sang langit
Nadanya menggaung di setiap sudut Suralaya

Dan ketika aku berada saat lingsir malam
Tahajudku mewarnai nafas alam
Bersandar pada awan-awan hitam

Esok dan lusa aku menua
Purnamaku akan berganti sudah
Dan tenggelam berkecipak dedaunan

Subuh mendekap sesaat
Aku tertidur lelap di tepian hutan.
Batu. Dimanche, 28 mars 2010
Banyu langit
Riant_lechevalierrouge@yahoo.fr

Kamis, 07 Juli 2011

Ketika Cinta Menepuk Hati Dan Ragu Memeluk Nyawa

aku hanya memandangi sesosok raga yang bersenandung nada
       bergulir di dalam waktu yang hanya sebentar terpaut kata
tergulung bersama nafas yang terpaut kala.
   Aku memuja setiap aura yang membuatku dingin semerbak cinta yang menepuk dada
       Seiring alunan senyum yang tiada hilang
Cium yang tiada lenyap
Dan gurau yang tiada rapuh.
       Tapi saat aku melihat yang tiada ingin aku mengerti,
       Ia tak sendiri, ia tak sepi sepertiku
       Ia tergelak tak menangis bagai aku
       Ia sempurna daripada aku,,,
              Muncul Tanya dari dalam samudra yang luas
              Ke dalam setiap air mata yang sempit mengalir padanya
              Terhembus embun-embun dari keringat yang mengharap
              Bayangan belaka dari neraka.
15 Aout 2010

Senin, 04 Juli 2011

Perasaan yang terpatahkan

Seringai bibir-bibir yang menggoda aku untuk menggigitnya
Tersenyum penuh indah yang tertabur mesra dengan perasaanku sendiri
Mencabut setiap dingin yang menakuti tulang-tulang beku
Menjadi hempasan pandangan menakjubkan
Tapi kini terpatahkan sudah
Karena bibir-bibir itu sudah dipunya orang
Dan sang harimau tak pernah bisa mendaki angkasa
Kecuali dia sakti
Atau mati,,,


17 aout 2010

Jumat, 01 Juli 2011

Apa aku harus terdiam?


            
              Aku mengedip-kedipkan mataku saat terbangun tadi malam, jam dinding menunjuk pada angka 3 oleh kedua jarum yang ia miliki. Ku lihat meja di sudut kamar, ada seujung lilin yang masih tetap menyala jingga di atas meja yang teralasi kain putih bersih, sebatang dupa yang asap dan baunya masih belum surut memenuhi kamarku. Kelopak-kelopak mawar putih, melati dan kenanga juga masih berserakan. Aku ingat, akulah yang menyalakan dupa itu, lilin dan menaburkan bunga di atas satu buah keris. Aku lirik lagi jam dinding yang menggantung,  sepertinya dia belum bergerak dari posisi semula. Tetap pada angka 3. 3 dini hari.
            Rasa kantuk tiba-tiba menghilang begitu saja dari otakku. Mataku tak lagi berat untuk terpejam di atas bantal, aku bangkit terduduk mengambil sekelopak melati dan mengendusnya ” wangi sekali.”, bathinku menerka.
            “ kau Cuma nafsu saja dengannya, pilih dia atau pilih aku sebagai sahabatku “
            Itu kata-kata novan saat aku ingin berkenalan dengan seorang yang menurutku sangat sempurna. Kata itu sudah lama sekali ia ucapkan tapi entah kenapa rasanya tak bisa hilang dari benakku. Apa itu dendam? Tidak, aku tidak akan mendendam pada sahabatku sendiri. Mungkin aku yang salah, aku yang sepenuhnya keliru. Bukan salah sahabatku yang telah menyayat perasaanku.
            “ ah, sudahlah “, kataku dengan beranjak untuk mengambil air wudlu.
            Tidak pernah aku hiraukan rasa beku yang ada padanya, tetap dengan sepenuh hati aku siramkan pada wajahku. Shalat malam yang jarang sekali aku lakukan dan pada malam ini aku lakukan membelakangi mejaku yang lebih seperti altar sesajen.
            “ kamu akan lebih di kenal jika kamu ada kemauan untuk melebarkan sayap “
            Kata-kata novan kembali terngiang saat shalatku hampir saja bersalam, untung aku dapat mengatur hatiku yang mungkin akan kalau dan membatalkan shalat. Ku angkat seuntai tasbih merah yang tergeletak mesra dengan secarik kertas bertuliskan sebuah kalimat doa yang beberapa waktu lalu diajarkan oleh ibu.
            “ ampun Gusti,,, “ desahku mewakili kalbu yang kian gundah dimakan perasaan yang membakar dengan membabi buta.
            “ apa aku harus diam saja wahai Gusti? Apa aku harus termenung saja? “
            “ tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Mu wahai Gusti Allah “ wiridku semakin ku perkuat untuk mencegah air mata yang sangat ingin menetes.
            Aku kembali membelakangi arah kiblat, dupa hitam itu belum juga habis dan masih membentuk kepulan-kepulan asap tipis yang melayang ke langit-langit kamar. Lilin merah di sampingnya mungkin beberapa waktu lagi akan habis diterkam apinya sendiri, kelopak-kelopak bunga juga masih sesegar ketika ku menaburkannya tadi. Lantas aku hunus sebilah keris yang menjadi sangat dingin, mengasapinya dengan asap dupa, mengolesinya dengan minyak melati dan mawar.
            “ sun matak aji … “, ku mulai membaca kalimat-kalimat mantra yang aku yakini sebagai perantara turunnya rahmat Gusti Allah kepadaku. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali aku rapal sampai aku yakin benar.
            Desiran angin tercipta di dalam kamarku saja, bertiup mematikan api lilin yang kian mengecil, mengacaukan asap dupa yang membumbung. Dan aku sadar, sepenuhnya sadar bahwa yang aku tunggu telah datang meski hanya lewat bathin saja aku melihat dan berbicara dengannya. Shang hyang Ismaya aku menyebut penampakan itu.
            Dalam pejaman mataku dan semadi yang tercipta di atas sajadah merah lusuh, aku dengannya berbicara, seketika diriku roboh, terkulai di atas alas sholat. Aku tak tahu lagi. Yang aku tahu Cuma ucapan sahabatku yang terus menggema di seluruh ruang hatiku. Aku masih amat sakit, sangat sakit.
           
“ apa aku harus diam Gusti? Apa aku harus bungkam? “ aku bertanya lagi pada Tuhan.
            “ akan aku lakukan apa yang menurutku harus aku lakukan wahai Tuhan, rahmati aku wahai Tuhan “
            “ dari pada aku terbungkam mati dalam tangis yang tak ada kebenaran di dalamnya “
            Aku masih terkulai dan mungkin juga tertidur sementara kalbuku bercakap sendirian pada Tuhan.
            Aku tak ingin hanya diam saja.
            Aku juga tak mau abadi dalam petang.
            Aku tidak mau terbungkam lagi.
            Aku kembangkan sayapku selebar mungkin aku mampu.
            “ keparat, sahabat macam apa kau? Sama sekali tidak mendukung apa yang selama ini menjadi hidupku. Apa kau ingin aku mati? ha?,,,”
            “ tapi selama ini dialah yang kerap menasehatimu. Bukannya dia tidak mendukung tapi dia tidak mau saja kau celaka, lagi pula dia terlalu tahu dan sangat tahu watak orang yang sedang kau inginkan itu. Jangan berburuk sangka pesanku,,,”
            “ halah,,, munafik ! jangan pernah kau tutup-tutupi tangismu yang selama tiga hari dulu kau kecap sendiri. Pahit di hatimu kau nikmati sendiri. Perih-perih sayatan pengkhianatan kau jilati sendiri darahnya. Masih juga kau membela sahabat pengkhianat semacam dia. Cuih …!”
            “ sabarkan hatimu, jangan termakan rayuan iblis. Sahabatmu adalah orang yang sangat baik dan akan senantiasa baik kepadamu, ayolah santai saja … . dan apa kau ingat selama delapan tahun lebih kau bersahabat dengan dia, apa kau sudah menemukan hati sebaik dan sesempurna sahabatmu itu? Aku tahu, tentu belum bukan? Selama itu juga, apa pernah sahabatmu itu tidak memperdulikanmu? tidak pernah kan? “
           
Aku percaya bahwa sahabatku bukanlah orang sadis yang tega memakan sahabat karibnya sendiri, yaitu aku. Berarti aku idak pernah boleh menganggap musuh orang yang aku sayangi karena dia bukan ingin membunuhku tapi ingin menyambung nafasku yang kerap terbata-bata.
            “ kasihani aku wahai sahabatku, tak tahukah kau aku memohon kepadamu? Tak tahukah kau sudah berapa lama aku menggantung nyawaku di ucapanmu?. Kasihani aku sahabatku, kasihani aku. Relakah kau memakanku hidup-hidup? “ bisik hatiku dalam sunyi sepi.
            Pilu sekali rasanya. Kemudian terhunus sebilah keris tajam yang dikata kakekku mengandung bisa ular welang. Ah, alangkah bahagianya tidur di bawah tanah basah dengan belaian tangan Allah meski Cuma berselimut bebeapa meter kain mori, alangkah harumnya jasadku ditaburi kelopak bunga setaman dan belum lagi diciprati minyak wangi.
            “ berfikir apa kau? Apa kau pikir mati itu memutuskan masalahmu? Tidak, benar-benar tidak. Malah Allah akan menghardikmu dengan cambuk-cambuk.”
“ ha.. ha.. ha.. lakukan saja, buat apa kau bingung dengan hidup yang mengancammu seperti ini? “
Aku sarangkan sebilah keris itu di nadi tangan kiriku.
“ jangan. Sekali lagi aku tegaskan kepadamu, kematian tidak mengakhiri masalahmu tapi akan menciptakan masalah baru untukmu sendiri. Camkan ! “
Aku menarik keluar dari area kematian saat benda tajam berliuk itu hendak menancap dengan sendirinya.
“ Allah, ampuni aku…” aku menggumam dengan sangat pelan.
Ku letakkan seperti semula keris yang berjejuluk Kiai Nogo Sosro di atas meja yang sekali lagi aku sebut sebagai altar.
Setiupan angin lagi pasti dupa harum itu akan habis masanya dan mati, lilin disampingnya meredup dan apinya semakin mengecil.
Padamlah mereka. Tapi aku belum mau padam dulu meski aku sekarang Cuma diam.
 Bukan diam tanpa alasan, atau diam menganggur dan lekas mengantuk.
Aku diam karena menunggu.

Saat yang pasti untukku bangkit dari peraduan menyesatkan.















Jeudi, 11 mars 2010
Riant banyu indrabuana
riant_lechevalierrouge@yahoo.fr

Kamis, 30 Juni 2011

Silencieux


       Ketika mereka memasuki ruangan lain, tak dapat aku bergerak lagi. Badanku terasa ngilu, panas dan kaku. Pikiranku menerawang jauh menembus langit yang tiba-tiba kusam.
“apa yang mereka lakukan sekarang? Kenapa aku tiada dipedulikan? Apa ini puncak keanehan yang aku rasakan semenjak 4 hari terakhir??”, aku berbisik sendirian di teras rumah kost Dhani. Boyfriend nya Novan, sahabatku sejak 7 tahun terakhir.
Tetap panas dan bertambah panas lagi saat Novan marah, dhani marah karena aku dan tiada yang peduli akan keberadaanku.
“ andai dia di sini walau aku nggak tau siapa namanya,,, wajarlah baru aja kenal. Yang aku perhatikan bukan nama yang dia sebutkan barusan, tapi wajahnya yang walaupun tidak tersenyum tapi indah sekali. Mengajakku ngobrol, tertawa atau paling tidak tersenyum. Andai saja.”, aku berbisik lagi dengan amat sangat pelan.
Lama sekali aku duduk di kursi kayu teras rumah. Warnanya coklat muda. Berdebu dan agaknya kotor. Menandakan bahwa penghuninya lebih sibuk untuk belajar daripada bersih-bersih rumah kost nya. Ku harap ada yang bisa aku lakukan saat itu. Berlari dikejar anjing dan berusaha mempertahankan diri darinya. Itu akan sangat berarti bagiku daripada harus kepanasan sendirian di teras kost rumah orang.
Suara adzan ashar membahana menggema menuji Tuhan semesta alam dan bershalawat kepada Rasulullah sang nabi terakhir. Aku amat sangat sadar bahwa itulah satu-satunya jalan keluar saat itu. Aku berpamitan kepada novan yang  keluar sejenak, entah sengaja menengokku, Cuma sekedar mencari angin segar atau malah Cuma melihat motor barunya. Takut aku bawa lari mungkin.
“ panas sekali…”, pikirku. Kemudian sedikit berlari aku keluar pagar besi kost itu, mencari keberadaan masjid yang terdengar dekat saat adzan bergemuruh. Akhirnya aku temukan juga, ku menanya pada anak-anak kecil yang berlarian.
“ dik, tempat wudlunya dimana yah?”, dia mengacungkan jarinya ke arah kiri.
“ makasih yah dik.”, ia mengangguk dan berlari kembali.
Ku ulirkan kran dan mengalirlah air dari dalamnya. Kutadahkan kedua telapak tanganku. Aku berwudlu. Merasakan rahmat Allah lewat air itu.
“ segar sekali.”, aku berbisik.
Shalat ashar berjama’ah pertama kali yang aku lakukan di dalam pesantren. Ada kyai, bu kyai, anak-anak nyantren dan banyak orang lagi. Semuanya terlihat segar dan damai menyebut asma Allah. Aku iri tapi ku bohongi sendiri hatiku. Shalat yang begitu hening, sejuk dalam Baitullah. Sejenak aku bisa melupakan ketidak nyamanan selama tadi. Bahkan aku lupa bagaimana mengucap barisan-barisan kalimat mantra yang selama ini menjadi menjadi wiridku setiap ba’da sholat. Sampai berkali-kali aku mengulanginya.
Aku kembali ke kost dhani.
Auraku belum berubah tentang tempat itu, tapi aku berusaha tenang meski tetap tidak diperdulikan oleh mereka. Aku duduk di tempatku semula. Sesosok pria yang menurutku biasa saja, masuk mengendarai motornya. Dia melihatku dengan pandangan semacam pandangan kepada Noordin M. top. Aku jadi sanksi.
“ kok nggak masuk?”, tanyanya.
“ iya makasih, disini aja mas lebih adem.”, jawabku tanpa memperhatikan wajahnya tapi memperhatikan baju yang di pakainya, serba putih.
“ cari siapa? Atau mau ngekost ya?”
“ e,,, nggak aku Cuma temannya novan. Nganterin dia ke sini.”
“ novan?”
“ e,,, BF nya mas dhani…”
“ o,,, kamu temennya novan berarti temennya dhani?”
“ iya,,”
“ oh aku kirain salah sambung, masuk gih,,,.”, ajaknya.
“ okeh, makasih.”, jawabku sambil berusaha mencerna kata-katanya. Dia akhirnya masuk meninggalkan aku.
“ Duh Gusti Allah,.”, aku mengaduh di dalam hati.




Banyu kertabhumi
23 octobre 2010
Riant_lechevalierrouge@yahoo.fr

Rabu, 29 Juni 2011

Kabut-Kabut Malam


Tawarkan aku sejuta rasa
Terbangkan aku melewati uap tubuhmu
Dibentangan lengan-lengan mengkilap
Sanduran nada meru.
Tak kuasanya aku melepas nafas
Kau berikan tidur di dalam kenikmatan nafsu
Nafsu yang tertiupkan bersama cinta
Bergumul berburu merebut hati.
Agar kelak lahi tunas-tunas abadi
Mengantar hangat saat tubuh ini menggigil
Dengan mata berkerjap-kerjap.
Aku sendirian di tinggal matahari
“ dingin kah? “, “ ya… sangat dingin !”.
Kabut malam menjilati leherku yang hangat
Melupakan hati perih oleh embun
Kabut malam tidur denganku
Menelanjangiku dengan kenyataan.


Batu. Mercredi, 07 juillet 2010
Banyu langit
Riant_lechevalierrouge@yahoo.fr

Selasa, 28 Juni 2011

Cinta Tak Pernah Kembali

                 Aku meloncati pagar besi runcing yang membatasi jalanan dengan halaman luas rumah yang terlihat megah itu, sepi sekali. Tidak Nampak seorang pun di dalamnya. Aku terbiasa mengambil atau lebih kasarnya mencuri buah-buah mangga dan jambu merah di halamannya, dengan suka ria aku mengambil belasan buah bahkan beberapa kantong kresek yang  penuh dengan mangga yang masak dan jambu-jambu ranum. Tidak ada orang yang sedemikian berani meloncati pagar rumah yang kata orang-orang rumah itu cukup angker untuk dijamah masyarakat sekitar. Aku tidak begitu peduli dengan omongan gombal mereka, toh kemarin lusa ada pak seno yang serta merta juga mencuri mangga-mangga muda buat bininya yang ngidam karena bunting, dan tidak terjadi apa-apa dengan beliau ataupun istrinya. Dan aku tak akan kapok sebelum tahu apa akibatnya.
                Sehabis adzan isya’ aku berulah lagi meloncati pagar setinggi tiga meter yang ujungnya karatan dan runcing, pernah suatu ketika kakiku terkena infeksi ringan karena tersangkut dan luka. Aku tidak pernah takut, karena bibirku ini rasanya sudah sangat ingin menggrogoti daging-daging mangga yang harum. Aku panjat sedemikian rupa pohon  lebatnya dan aku wadahkan pada kantong kresek hitam yang aku bawa dari rumah. Sepi. Itulah suasana yang tercipta disana disertai desiran angin dingin kota Batu dan gelap malam pegunungan. Belum sempat aku keluar meloncati pagar untuk membawa pulang benda rampasan itu, tiba-tiba dari dalam rumah,” ehm,ehm,,” terdengar suara orang berdehem beberapa kali. “ siapa yah? Bukannya rumah ini kosong? Apa mungkin  hantu yang sering dibicarakan orang-orang? Yang suka berdehem-dehem seperti kakek-kakek?”, pikirku mulai semburat. Bukannya aku takut tapi malah mendekati rumah yang lebih layak disebut istana itu. Aku gantungkan kresek hitam yang setengahnya sudah berat dengan mangga itu di ujung dahan pohon apel dan aku mencari tahu kedalamnya.” Kalo disana ada orang, maka dia juga mungkin pencuri buah seperti aku. Kalo dia bisa masuk, kenapa aku tidak, pasti ada jalan ke dalam.” Kataku lupa denga niat semula untuk mencuri buah-buahan saja. Aku melangkah ke pintu utama rumah itu, besar sekali seperti pintu gerbang benteng Tuan Digger, seorang Belanda atau nenekku menyebutnya Kompeni yang dulu pernah tinggal dan meninggalkan bentengnya di area desa ini. Aku ketuk beberapa kali pintu rumah itu dengan mengucap salam,” assalamualaikum,,, spada,,, any body here?”. Namun tidak ada jawaban apa-apa. Karena tidak puas, maka aku melangkah ke samping rumah, banyak jendela-jendela dan pintu sampai belakang rumah. Kolam renang yang luas, kosong tanpa air dan dipenuhi dedauan rumput tampak menjulang dari dalamnya. Aku hidupkan lampu senter yang memang sengaja aku bawa.
                Sedemikian lama aku mengamati detil lekukan rumah megah itu dengan lampu senter yang aku sorotkan pada ornamen-ornamen mahalnya. Hape dalam kantongku aku raih dan mengamati waktu yang berjalan di dalamnya. 22.23,” wuih sudah  jam sepuluh lewat banyak ni, balik ah,,”, cetusku waktu itu. Kembali menelusuri pinggir istana kematian tanpa kehidupan di dalamnya. Sampai di depan pintu utama. Aneh, pintu utama terbuka lebar menampakkan isinya yang penuh dengan property dan di selimuti kain-kain warna putih. Tanpa pikir panjang aku masuk kedalamnya, tetap dengan senter di tangan kananku. Aku benar-benar lupa dengan mangga-mangga yang ranum. Diatap rumah itu tergantung lampu Kristal yang besar dan anggun. Lembab dan berdebu. Aku intip bahkan aku buka property-properti yang tertutupi. Barang-barang mewah terdapat disini.” Mengapa tidak dicuri orang saja? Mengapa hanya mangga saja yang terlintas dibenak para pencuri rumah ini?”, pikirku tamak. “ehm,,ehm,,”, suara deheman itu lagi terdengar dari lantai atas. “krrriiiiiittt,,,krriiiiiitttttt,,,, braaakkkkk,,,,”, celaka, pintu utama yang terbuka lebar itu tertutup dengan sendirinya, aku pernah lihat pada film-film horror, pintu yang tertutup dengan sendirinya mustahil untuk dibuka. Aku berlari ke arahnya dan berusaha sekuat tenaga untuk membukanya. Benar saja, tak terbuka sedikitpun. Sedikit merinding leher dan punggungku.” Jangan pernah takut, karena merekalah yang harusnya takut kepada manusia.” Aku menirukan kata-kata ustadz. Senter aku arahkan ke segala arah termasuk pada lukisan wanita yang sedang menari pendet di dinding, mata wanita itu terlihat melotot seram dengan wajah menor merah dan bibir yang sedikit menyungging senyum. Kenapa ada lukisan leak bali di sampingnya? Tidak masuk akal, masa menari pendet dengan leak sih.
                Kursi goyang di ujung ruang. Aku keder melihatnya, jangan-jangan akan bergoyang sendiri dengan nenek-nenek di atasnya? Hii,,,, amit-amit. Aku ke lantai atas menaiki anak-anak tangga yang jika di injak maka menghamburkan debu-debu yang menyesakkan nafas. Ada saklar di dindingnya, aku tekan saja hingga lampu Kristal di tengah langit-langit itu berkedap-kedap beberapa kali dan akhirnya menyala menerangi seluruh ruangan. Waow,,,, gumamku melihat patung Ganesha dan Shiwa yang bertengger di lantai dua dengan sikap yang menari dengan sangat gagah. Muncul niatan untuk membawa pulang patung setinggi masing-masing semeter itu. Begitu indahnya.
                “ lingsir,, wengi,, sepi durung biso nendro…”, aku menyanyikan lagu lingsir wengi yang aku sukai. Tak peduli kata orang-orang yang katanya identik dengan kuntilanak atau semacamnya. “ kawitane mung sembrono jur kulino,, ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno,,”, ini bukan suara ku, tapi suara seorang laki-laki yang terdengar sangat merdu dan enak didengar. Rupanya tidak jauh dari tempatku berdiri disini. “ mas. Suara sampean enak, nyanyi lagi donk.” Aku berkata pada yang menyanyi itu, tapi tidak ada sahutan sama sekali.” Aku dhewe kang nemahi,,, nandang bronto, kadung loro sambat-sambat sopo.” Aku menyanyikan lagu itu.”Rino wengi,,, sing tak puji ojo lali,, janjine,,, mugo biso tak ugemi,,,”, suara laki-laki itu turut meneruskan lirik yang kau nyanyikan. Sialan ! ketakutan mulai muncul disini, tapi suara orang itu sungguh merdu hingga mengikis rasa takut yang ku derita.
Aku mendekati patung Bathara guru alias dewa Shiwa yang tak terpaut jauh dariku, hanya sekitar tiga meter di depanku, aduhai,,, sungguh elok. Tak terasa aku menggumam sepatah mantra yang pernah di ajari kakekku beberapa waktu lalu yang berhubungan dengan Hyang Guru.” Adegku bethara Guru, tenggekku ulo nogo, tanganku gajah warak,,,”, begitu seterusnya aku mengucapinya hingga tiga kali berturut. Bau harum melati tercium memenuhi ruangan. “ bau melati siapa ini?” aku bertanya pada diri sendiri. Baunya semakin menjadi-jadi dan terkadang bercampur dengan bau mawar dan kantil. Aku tak memperdulikannya. “ kriit,,, krit,,,kriitt,,,”, suara ini terdengar dari bawah, aku melongokkan kepalaku ke bawah. Haduh Allah,,, benarkan dugaanku tadi, kursi goyang itu bergerak-gerak tapi tidak ada siapapun di atasnya.” Maaf kalo saya mengganggu yah, saya Cuma numpang sebentar disini.”, aku tiba-tiba berkata demikian yang aku tujukan pada kursi yang bergoyang-goyang itu. Tiga gerakannya kemudian dia berhenti bergoyang. Huft,,,, sukur deh.
“ Allah !!!”, di saat aku menolehkan badanku ke belakang, sudah berdiri seorang wanita yang sangat cantik. Memakai kebaya dengan selendang merah. Aku terkaget-kaget.” Ibu Ratu ingin mengajakmu ke istana.”, katanya dengan senyuman manis. “ hah? Ibu Ratu siapa? Aku nggak kenal siapa itu Ibu Ratu. Mana ada di sini tetanggaku yang namanya ibu Ratu.”, kataku seronok. Sontak dia dan dua wanita cantik lainnya yang berpakaian sama menarik pelan kedua lenganku dan diajak memasuki sebuah lubang berdiameter dua meter, kayak portal waktu di power rangers ajah.
Sampai aku di depan pintu gerbang sebuah kerajaan, anehnya ada banyak ikan, yang berlalu lalang disetiap sisi dan ubur-ubur, aku sempat berpikir bahwa aku sedang di ajak ke bikini bottom. Kalo benar bikini bottom, maka aku akan menghajar yang namanya Patrick dan squidward. Pintu terbuka, harum wangi terlintas di depanku, pake parfum apa sih? Paris Hilton yah? Di ujung lorong aku melihat seorang wanita dengan baju keraton berwarna emas duduk di singgasana, di pinggir-pinggirnya ada banyak orang, lelaki muda yang tampan, wanita yang cantik sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. “ megah sekali .”pikirku. aku sadar aku lagi dimana, di keraton. Aku pun menghaturkan sembah. “ akulah Dewi Lanjar, penguasa lautan utara, manusia tegakkan kepalamu.” Perintahnya dengan suara yang menyejukkan hati. Aku pandang wajahnya, penuh cahaya dan sangat mempesona. “ maafkan saya Ratu, ada apa Ratu menginginkan saya disini?” kataku sopan dan menaruh senter yang aku genggam sedari tadi aku genggam. Orang-orang di samping menatapku. “ aku Cuma ingin bertanya, apa maksudmu datang ke kediamanku dan membaca-baca japa mantra pada Hyang Manikmaya? Apa Yang kamu inginkan?”. Tanyanya sedikit tegas.” Maafkan saya dewi Ratu, saya melihat patung Hyang Guru dan Hyang Gana di sana, pikiran saya sungguh terpesona dengan keindahannya, entah secara tidak sadar saya mengucap mantra itu beberapa kali.” Yang di sebut Ibu Ratu itu Cuma mengangguk dan tersenyum di sertai senyuman juga oleh orang-orang aneh yang hadir disitu.
Sekedipan mata kemudian aku telah berada kembali pada depan patung Hyang Guru di dalam rumah. Aku cepat turun melalui tangga dan mendapati pintu rumah itu sudah terbuka lebar lagi seperti saat aku memasukinya. Aku menghambur keluar dengan cepat. Tak peduli lagi dengan barang-barang mewah yang tergeletak begitu saja. Aku sahut kresek yang mulai berembun di dahan pohoh apel yang aku titipi buah-buah mangga lezat. Aku panjati besi-besi berdiri yang memagari halaman. “kriit,,,kriiit,,kriiitttttttttt,,,braaakkkk,,,!”, suara pintu utama besar itu tertutup begitu saja tanpa ada angin atau sesuatu yang membuatnya jelas tertutup. Aku makin merinding saja saat dari arah jendela kaca yang terbuka aku dapat melihat seorang yang tampan dan tidak seram sama sekali mengingat dia mungkin adalah hantu. Tidak seram sama sekali dan dengan senyum melambai-lambaikan tangannya, namun saat aku melihat wanita tua yang terkekeh-kekeh, baru aku merasakannya.
Sampai dirumah, aku seperti orang linglung yang baru saja bangun dari pingsan. Sungguh seperti mimpi yang kemudian muncul nyata.” Haduh Allah,,, ada apa ini?”, aku bertanya pada Allah. Aku mengambil air wudlu kemudian menunaikan shalat tahajud dan dzikrullah. Aku mulai dapat menguasai diri.
“ banyu, mampirlah lagi dirumah…”. Mimpi yang cukup aneh buatku. Seorang tampan yang kemarin melambaikan tangannya datang kedalam mimpiku. Aku kenal siapa dia, Hans. Dia bernama Hans. Dia dan keluarganya mati secara tidak wajar dan tidak masuk akal. Mati dengan bekas cambukan diseluruh badannya dan memberikan luka-luka menganga. Kata simbah, mereka adalah pemuja kekayaan dari Dewi lanjar, dan saat mereka diutus untuk mengamalkannya untuk ibadah, keluarga Hans melupakannya, dan akhirnya di ganjar seperti itu. Aku ingat betul siapa Dewi Lanjar itu. Adik dari nyai Roro Kidul penguasa laut selatan. Mereka bukanlah lelembut yang jahat tapi lelembut yang mempunyai hati. Lantas, apa itu hantunya Hans? Mana keluarganya? Ah,, aku tidak mau ikut campur dalam masalah mereka. Aku punya kehidupan sendiri yang harus aku selesaikan sebelum aku mencampuri hidup orang lain apalagi mereka mereka sudah tiada di dunia. Tapi rasa penasaranku adalah kekuatan yang tidak bisa aku lawan. Aku memilih malam hari untuk menge-cek kedalam rumah itu lagi agar mempermudah aku jika memang Hans menginginkan untuk bertemu denganku. “ Hans,,,! InI aku, banyu. Tolong jika kau benar ingin bertemu denganku buka pintunya.”, Kataku didepan pintu utama rumahnya. “ Hans ! jika bukan kau yang mendatangiku semalam lewat mimpi, beri saja aku pertanda bahwa bukan kau, bernyanyilah kau seperti saat aku pertama kali memasuki rumahmu.”, kataku kemudian. “ Hans,,,! Jawab cepat sebelum aku pulang dan tidak menemuimu lagi, apa kamu Cuma ingin menge-tes kesabaranku disini? Aku bukanlah orang yang betah menunggu, aku akan pulang dan menikmati mangga dan jambumu. Toh,,, tidak kau makan kan?”, tambahku tidak sabar. “ ya sudah Hans, aku pulang saja, kamu terlalu lama.”, aku melangkahkan kakiku keluar dari teras rumahnya. “Kriiiit,,,kriiitttt,,,,” pintu rumah itu terbuka sedikit lebar. “ Hans, apa aku mengijinkan aku masuk? Kalo tidak, percuma aku menemuimu dan kau menemuiku. Jangan datangi aku lewat mimpi lagi, karena doa-doaku pada Tuhan tak akan mampu kau tembus dengan ilmu apapun.”. “ehm,,,” ada deheman sekali dari dalam.” Ku anggap itu sebagai kata ya untuk mengijinkan aku masuk.”, Aku bergumam sambil memasuki ruangan besar dan gelap itu, aku arahkan senter ke segala arah.
“ di mana lingsir wengimu Banyu?”, Tanya seorang tampan dari ujung lorong berjalan mendekati aku dengan pakaian jas hitam, berdasi, pakaiannya lengkap dan menawan. “ lingsir wengi? Kau suka Hans? Aku tidak selalu menyanyikannya, aku lebih suka lagu pop.”,  jawabku memandangi dia walau semula aku terkejut. “hahahahah,,, bagaimana kabarmu?” ,tanyanya.” Ya,,, beginilah, baik meski tidak lebih baik dari kemarin. Dan selalu mangga dan jambumu yang ranum yang tetap membuat aku mendapat banyak asupan vitamin.”, Jawabku seadanya.” Hahahahah,,, sebelum aku mati dan setelah aku mati seperti sekarang dan menjadi arwah saja. Kau tidak berubah. Tetap bisa membuat aku tergelak”. ” Hei Hans atau aku harus memanggilmu mas Hans? Karena umurmu terpaut 5 tahun lebih tua dariku? Mengingat dulu sebelum kau menjadi arwah seperti ini, aku selalu mengagumi ketampananmu dan berharap dapat kau manjakan aku dan selama itu pula di dalam pembicaraanku, di dalam buku harianku dan di dalam semuanya tentangmu aku selalu menyebutmu dengan panggilan mas Hans?”. ” Terserah kau saja! Kau mengagumikukah?  Tanyanya dengan senyum yang transparan. ” Ya, aku sangat mengagumimu. Bahkan cenderung mencintaimu. Kau laki-laki dan aku laki-laki juga. Aku tak pernah berani mengatakan ini semasa kau hidup. Dan kenapa pula kau tahu betul tentang aku hingga aku suka membuat orang tergelak? Kau memata-mataiku?”, tanyaku sedikit ketus pada arwah yang sedari tadi berdiri tiga meter didepanku, terlihat jelas bahwa sosoknya transparan seperti plastik yang tembus cahaya.  “ aku tahu betul siapa kamu Banyu, jangan kira si Lanang temanmu itu tidak kenal akrab denganku saat aku hidup, di juga sahabat baikmu bukan? Lanang pernah kau larang bercerita isi hatimu kepadaku. Tapi aku tahu dari sorot matamu saat dulu kau bertemu denganku atau paling tidak saat berpapasan jalan denganku. Senyummu juga tidak akan dapat membohongiku Banyu. Kau suka aku, dan aku tahu itu. Meski kita sama-sama lelaki tapi kita adalah Gay- homoseks, yang mencari pejantan untuk kita sendiri.”  Penjelasan Hans membuat aku tersipu malu, tak ku sangka bahwa Lanang yang aku anggap teman biasa dengan Hans ternyata juga sahabat Hans. Sialan!. ”Jadi maksudnya kau. Mas Hans. Menemuiku dalam mimpi untuk bertemu dan obrolan kita barusan apa?”. ” Begini,,, aku juga suka kamu saat aku tahu kau suka aku semasa aku hidup. Dan sekarang aku ingin menyatakan cintaku padamu dan aku harap kau dapat menerima cintaku.”. ” mas Hans,,,!  Jangan gila. Kau sudah mati dan kini kamu tinggal sebuah arwah. Mana mungkin aku berpacaran dengan seorang arwah,,,?”. ” Banyu, tapi aku sanggup menjadi utuh padat seperti manusia.”. ” maksud kamu, mas Hans, aku harus berpacaran dan tidur dengan tulang belulangmu? Aku kau setubuhi dengan kerangka yang menyeramkan? Ayolah arwah,,, aku manusia.”. “ tidak Banyu, aku dapat berwujud menjadi aku kembali meski dengan waktu yang terbatas.”. “tidak mas Hans! Aku manusia dan kamu arwah, jelas sekali alam kita berbeda.”, aku bersungut-sungut terhadap Hans, dia arwah gila. “ kalau aku tidak dapat berubah bentuk, maka aku yang akan merubah bentukmu menjadi arwah seperti aku, sehingga kita bisa hidup bersama sampai kiamat kelak.”. “apa?! Kau ingin merubah aku menjadi arwah? Apa dengan kata lain kau ingin menbunuhku? Sehingga aku menjadi arwah sepertimu? Mas Hans, dengar! Jangan coba-coba! Ingat itu. Meski aku dulu sangat mencintaimu, tapi pilihanmu sangat salah, amat sangat salah. Bukannya aku takut mati, tapi pikirlah aku tidak mungkin berpacaran dengan seberkas setan sepertimu.”. “apa? Setan. Banyu, aku bukan setan, aku arwah. Nyawa yang berkeliaran, Allah belum mengizinkan aku memasuki langit sampai datang kiamat. Aku menyayangimu Banyu. Ayolah,,,”, katanya memohon. “ mas Hans, aku juga mencintaimu dan aku kirimkan kau ayat-ayat suci untukmu dikuburanmu.”. “tidak cukup, kau harus ikut denganku.”. “ aku ingatkan sekali lagi, jangan pernah coba-coba!”. Gertakku. Namun apa yang kemudian terjadi? Tubuh Hans benar-benar menjadi nyata kembali, padat seperti manusia. Ketampanannya hilang karena tubuhnya mulai ditumbuhi bulu-bulu sepanjang tiga puluh sentimeter dan dimulutnya keluar taring-taring yang melengkung seperti pisau tajam. Dia melangkah menggiringku ke pinggiran plafon, aku dapat menebak bahwa dia ingin menjatuhkan tubuhku dari lantai dua ke lantai satu dibawahnya. Aku tidak menggeser badan sedikitpun meski dia terus mendekat. “ audzubillahhiminasyaitonirrojim, bismillahhirrohmaanirrohiim. Allahulaailaahaila huwal hayyul qoyyum…”, aku membaca ayat kursi sampai pada ayat ‘wala yauduhu khifdluhuma wahuwal aliyyul adzim’ aku ulang sampai tujuh kali. Dia meringis kesakitan hingga aku lihat dari tubuhnya adalah nyala api yang berkobar-kobar tiada henti. “kau bukan mas Hans, kau setan!”, hardikku. Aku baca mantra yang pernah aku ucap di depan patung Hyang Guru dan Hyang Gana, seketika ada tiga orang yang gagah membawa pedang dan dua orang wanita cantik yang sebelumnya aku temui di keraton Dewi Lanjar, menyeret paksa setan itu dan di lempar ke dalam portal yang dalamnya terlihat kobaran-kobaran api. Tanpa pesan, mereka lenyap.
Aku keluar dari rumah itu, seperti biasa. Pintunya terbuka dan tertutup sendiri, bedanya kali ini aku tidak merasa ada ketakutan seperti kemarin lusa. Hatiku kembali mengingat Hans, mas Hans.
Sesampai dirumah, mangga-mangga dan jambu masak di dalam tas kresek, aku taruh begitu saja di atas meja makan. Pikiranku koyak. Aku mengambil air wudlu dan menyegerakan shalat tahajud. Allah,,, ampuni keteledoranku ya Allah,,,


Banyu langit. Malang. Mardi, 3 Aout 2010. Riant_lechevalierrouge@yahoo.fr