Minggu, 20 November 2011

Temaram.


Tak pernah sampai aku gapai mentari yang tersenyum di balik badai.
Kemudian bulan menghardikku karena mungkin dikira aku telah berusaha selingkuh dari kenyataan yang tercipta.
Bintang datang dan pergi semau dia kemudian ia menghujatku karena dikira juga aku telah mengabaikannya sejak bulan purnama kemarin berakhir.
Kabut dingin di malam kelam juga demikian, muncul, menghilang, muncul dan menghilang lagi. Setiap kali berusaha mengucapkan berbagai sandiwara dari dalam belahan-belahan auranya yang tipis, kelabu, dingin dan mencekamku untuk merangkulnya.
Angin tak berhembus, tak bergerak, tak berjalan.
Sebagaimana aku menjemur setengah dari dahiku intuk menutupi mata dan pikiranku dari semua yang telah aku raut dan aku coretkan sebagai lukisan yang tidak pernah terwujud apapun.
Aneh bukan.
Tapi inilah kenyataan yang terjadi sesungguhnya. Aku yang memulai. Tapi aku tak mau mengakhiri. Aku yang memulai dan aku juga tak mau ada sela sedikitpun.
Malam semakin temaram setelah bulan menghardikku.
Lancang!
Tak elak juga semua mencaciku.
Baik!
Apa ada yang benar dari kalian semua?
Tidak!
Aku yang paling benar dari semua temaram yang ada.
Aku yang paling temaram dari semua terang yang ada.
Dan aku yang paling terang, jika aku mati.
Semua tertawa, sampai tikus-tikus menjijikan terbahak-bahak di dalam lubangnya yang sudah tidak perawan.
Kau siapa wahai manusia? Tanya tikus itu padaku yang masih ternganga.
Aku adalah temaram.
Temaram? Milik siapa?
Milik matahari, milik bulan, milik bintang, milik kabut, milik angin, milik air, milik malam.
Kau seperti  kami wahai temaram.
Aku? Mirip tikus seperti kau? Lancang!
Itu benar. Kau memakan segala hal yang menurutmu menarik.
Benarkah?
Benar temaram.
Aku sedih.
Bersedihlah.

Rian kertabhumi.
28 juni 20112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar